Namaku Eliana, si anak pemberani. Anak sulung Bapak dan Mamak yang akan selalu membela kebenaran dan keadilan. Berdiri paling depan dengan gagah di depan membela orang-orang yang lemah dan teraniaya.
Bapak ada urusan di Ibukota, aku dan Amelia, adik bungsu ku ikut Bapak ke kota. Sedangkan Adik-adik ku yang lain, Pukat dan Burlian, dirumah bersama Mamak. Mereka tadi sempat hampir menangis saat kami pergi. Minta diajak. Ternyata Bapak ke Ibukota karena ada pertemuan tentang pengerukan tambang pasir yang ada di hutan kampungku. Orang-orang Ibukota itu memaksa Bapakku untuk mengizinkan mereka mengeruk tambang pasir. Lalu Keluarga kami akan diberikan kehidupan yang layak dan mewah. Bahkan mereka sempat menghina Bapakku.
“Lihatlah, Syahdan, kehidupan apa yang kau berikan pada anak-anakmu? Seragam bekas? Astaga! Dua Bidadari kecil ini memakai baju lungsuran?”
Itu kata Johan. Johan adalah pemimpin pengeruk tambang pasir.
Aku bersekolah di dekat rumahku, dan guruku hanya ada satu. Yaitu Pak Bin. Walaupun sudah tua dia masih bersemangat mengajar anak-anak muridnya. Di sekolah aku mempunyai sahabat bernama Hima, dan Damdas. Juga Marhotap, musuh bebuyutan ku. Aku dan sahabat-sahabatku sangat tidak suka oleh kehadiran truk-truk pengeruk pasir di kampungku.
Setelah rencana matang, kami berjalan ke hutan bersama. Setelah sampai, kami bersiap untuk melakukan penyerangan. Aku berjalan mengendap-endap agar tidak menimbulkan bunyi. Tapi hitunganku salah, para penjaga itu menyadari kehadiran kami. Aku dan sahabat-sahabatku langsung berlari secepat mungkin. DOR! Kaki Damdas terkena peluru tembakan. Dia langsung terjatuh ke tanah. Kami setengah mati membantu Damdas berdiri, tapi hasilnya nihil. Tiba-tiba bantuan datang, Marhotap datang menolong kami.
Setelah kejadian itu Aku dan dua sahabatku semakin akrab dengan Marhotap. Dan akhirnya menjadi sahabat, dan nama geng kami Empat Buntal. Tapi beberapa lama kemudian Damdas mengeluh minta diganti nama gengnya, karena dia trauma pernah digigit ikan buntal. Maka, nama geng kami diubah menjadi Empat Brutal. Tapi tidak lama kemudian Marhotap berniat untuk menyerang truk-truk pengeruk dengan melempari balon yang diisi minyak. Berusaha mencegahnya setengah mati, tapi tidak ada efeknya. Hari itu aku kehilangan Marhotap. Dia menyerbu Tambang oasir itu sendiri dengan gagah berani. Dia sudah pergi untuk selama-lamanya.
Setelah kepergian Marhotap aku mempunyai teman debat lagi bernama Anton. Dia yang membuatku Azan di masjid kampung kami, dan membuat seluruh kampung berkumpul di masjid. Dia juga yang ke sekolah memakai rok bersama teman laki-laki kelasku. Setelah beberapa lama akhirnya kami bersahabat. Nama geng kami menjadi Empat Buntal. Kembali seperti dulu lagi.
Selang beberapa hari, aku memaksa ikut ke Ibukota bersama Bapak, untuknya diizinkan. Di Ibukota, aku mendengar anak buah Johan membicarakan kalung dan baju Marhotap. Lalu setelah kuceritakan ke sahabat-sahabatku, kami berencana untuk mencuri baju dan kalung Marhotap yang diletakkan di laci meja penjaga. Rencana sudah dibuat matang-matang, karena Hima bilang ada sesuatu yang ganjil. Malam hari kami mulai beraksi. Anton paling depan dan Damdas paling belakang. Pos penjaga terlihat sepi. Anton merayap mendekati meja penjaga, lalu kami mengikuti dari belakang.
Ternyata yang Hima bilang benar, tentang ada yang ganjil. Setelah jarak Anton dan laci meja sudah dekat, ada suara cetekan senter. Padahal diantara kami tidak ada yang menyalakan senter.Ternyata suara itu berasal dari senter Johan. Dia segera menangkap kami semua, lalu memasukkan kedalam salah-satu truk. Tiba-tiba ada Gempa Bumi. Lalu aku teringat akan ucapan Paman Unus.
“Ada suatu masa diantara masa-masa. Ada suatu musim diantara musim-musim. Ada saatnya ketika alam memberikan perlawanannya sendiri. Saat hutan, sungai, lembah, membalas sendiri kerusakannya.”
Tak lama kemudian seluruh tambang pasir sudah dipenuhi oleh air. Kami semua harus menunggu sampai matahari terbit untuk bisa dikeluarkan dari truk kontainer yang mengurung kami.